Tentang Idul Fitri, oleh Nurcholish Madjid

Sebelum memasuki hari yang fitri, ijinkan saya mengangkat satu artikel tentang memaknai Idul Fitri. Tulisan ini dibuat oleh alm. Nurcholish Madjid di bukunya berjudul “30 sajian ruhani” [cetakan 1998, penerbit MIZAN]. Setiap datangnya Ramadhan tiap tahun, selalu saya luangkan membaca buku ini, sepertinya tidak pernah bosan dengan isi dan gaya tulisan dari beliau.

Alm.Nurcholish Madjid adalah salah seorang cendikiwan muslim yang pernah hidup di negeri ini, beliau menjadi tokoh yang selalu saya kagumi dalam konsep ber-islam yang bersahaja dan penuh wawasan

Semoga tulisan ini bermanfaat buat kita-kita yang ber –Idul Fitri…



ooo 0 ooo


(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

(QS. Ali Imran [3]: 134)

Memasuki datangnya hari raya Idul Fitri, aktivitas dan mobilitas masyarakat semakin meningkat, khususnya dalam rangka mempersiapkan diri untuk merayakan hari yang dinanti-nantikan tersebut. Fenomena sosial yang amat sudah diamati menjelang hari raya idul fitri adalah harus mudik sehingga transportasi menjadi masalah utama menjelang dan sesudah hari raya Idul Fitri.

    Berkenan dengan fenomena mudik, sebenarnya kita tidak bisa mengatakan itu sebagai gejala set-back, kemunduran atau keterbelakangan. Di Negara Amerika, sebuah Negara yang diklaim sebagai negara modern pun, gejala mudik atau fenomena mudik juga terjadi, yakni tepatnya pada saat mereka perayakan Thanks-giving Day. Di beberapa bandara terjadi luapan penumpang dan dimana-mana terjadilah fenomena traffic-jams atau kemacetan lalu lintas.

    Upaya membendung terjadinya luapan arus mudik atau bahkan budaya mudik bukan hal yang gampang karena hal ini berkaitan dengan dorongan alamiah atau fitri manusia, yakni mereka ingin kembali kepada hal-hal yang berdimensi asal, seperti ingin kembali kepada orang-orang yang paling dekat atau ibu-bapak dan saudara. Dorongan dan kerinduan yang bersifat natural atau fitri itu jugs merupakan dorongan yang mengajak orang kembali kepada asalnya, yakni kesucian, ingin meminta maaf kepada mereka.

    Dari segi ajaran agama, mudik merupakan pelaksanaan perintah ajaran agama, yakni menjadikan Idul Fitri sebagai sarana atau medium bermaaf-maafan setelah menjalani tobat dan meminta maaf atau ampunan kepada Allah Swt. Sebagai sarana meminta maaf, Idul Fitri juga merupakan ajang menjalin silaturahmi, menjalani kasih sayang yang dimulai dengan meminta maaf kepada orang tua dan sanak saudara. Hal ini pun kemudian menjadi hal yang sangat mendasar dalam melaksanakan dan merayakan Idul Fitri. Artinya, bagi para perantau, merayakan nyaris tak bermakna.

    Di sisi lain, kepulangan beberapa pemudik ke daerah asal mereka juga ternyata membawa dampak ekonomi yang luar biasa, khususnya berkenaan dengan dampak pemeran pemerataan ekonomi ke daerah-daerah. Para pemudik di beberapa daerah tertentu, ketika pulang ada yang disambut oleh pemerintah daerahnya. Bahkan, ada yang dielu-elukan sebagai para pahlawan pembangun bagi daerah mereka. Dengan begitu, tanpa disadari kegiatan perayaan Idul Fitri dengan mudiknya merupakan blessing under disguise, hal yang tampaknya tidak menguntungkan, tapi ternyata memberikan rahmat tersendiri.


    Selain fenomena mudik adalah munculnya berbagai ragam cara dalam rangka memeriahkan datangnya hari Idul Fitri seperti pemukulan beduk dan takbir keliling, bahkan ada seremonial-seremonial tertentu yang memiliki tujuan sama. Berkenaan dengan budaya memukul beduk, mengingat tidak semua umat Islam memukul beduk, harus kita pahami bahwa hal itu sebenarnya hanya merupakan sebuah tradisi dan bukan hal yang prinsipal. Beduk pada awal mulanya bukan budaya Islam. Beduk berasal dari budaya Cina yang kemudian oleh para wali di perkenalkan ke dalam budaya Islam pada masa-masa penyebaran Islam di Nusantara. Hal yang sama juga dengan wayang dan gamelan.

    Menyinggung masalah budaya luar tidak hanya beduk dan wayang serta gamelan saja, tetapi masih banyak lagi budaya asing yang kemudian diadopsi ke dalam budaya Islam, mengingat Islam tidak datang dalam sebuah kelompok atau bangsa yang vacuum budaya. Dalam bidang arsitektur, kubah pada masjid ternyata berasal dari arsitektur Bizantium. Juga bangunan tempat azan atau menara (manarah) yang berasal dari kata nur atau nar yang berarti tempat api bagi penyembahan agama Majusi di Persia, Iran yang kemudian diintroduksi dan dimasukkan ke dalam budaya Islam menjadi menara masjid untuk tempat azan. Namanya diganti menjadi mi’dzanah, artinya tempat azan, namun ternyata kurang popular di kalangan umat Islam sendiri.

    Dalam menjalankan ibadah shalat Idul Fitri, di Indonesia juga terjadi keragaman, ada yang melaksanakan di lapangan. Masing-masing memiliki argument atau alasan dan itu adalah masalah ijtihad. Masalah ini terkadang memang menimbulkan perdebatan atau bahkan saling menyalahkan.

    Namun satu hal yang perlu diingat adalah bukan kasus di dalam masjid atau di lapangan, yang lebih esensial adalah pada tingginya nilai kesadaran diri atau ketakwaan dengan menangkap dan memahami pesan-pesan dan makna Idul Fitri. Sebagaimana pada masa lalu dipertentangkan antara orang Islam dan Kristen berkenan dengan kiblat atau arah untuk beribadah mereka –saat itu umat Islam masih menghadap ke arah Masjid Al-Aqsa. Dan atas perintah dan petunjuk Allah Swt, Rasulullah Saw mengganti kiblatnya ke Masjid Al-Haram atau ke arah Ka’bah.

    Kasus yang demikian itu akhirnya oleh Al’Quran dinilai sebagai meributkan atau mempertentangkan masalah yang tidak substansial, penting atau mendasar, yang berbunyi, Bukanlah menghadapkan wajahnya ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kabaktian itu beriman kepada Allah…….(QS Al-Baqarah [2]: 177).

    Kiblat sebagai poros atau pusat hanyalah sebagai simbolisasi dalam menunjukkan kebaktian dan yang terpenting adalah kemampuan menangkap makna pesan-pesan yang sesungguhnya. Sikap merasa dirinya paling baik dan benar, dan sebaliknya menuduh yang lain salah, adalah salah satu indikasi ketidakmampuan memahami pesan-pesan ajaran agama secara benar. Sikap yang menonjolkan kelompok dirinya paling benar itulah yang kemudian memunculkan sikap sektarianisme dalam beragama.

    Sikap sektarianisme lahir karena ketidakmampuan menangkap makna dan pesan secara benar sehingga pada akhirnya justru akan memecah–belah kesatuan umat. Di sisi lain, tanpa disadari, sikap tersebut juga akan dengan mudah dipergunakan atau diperalat kelompok lain untuk mencapai kepentingannya sendiri dengan mengorbankan kepentingan umat.

    Selama merayakan Idul Fitri, juga dapat disaksikan dan ditemukan variasi dan keragaman dalam cara-cara meminta maaf atau dalam bersalaman. Ada yang dikenal dengan budaya sungkem. Budaya sungkem, yakni bersalaman atau meminta maaf dengan cara duduk di lantai, sedangkan orangtua duduk di kursi, seperti yang disaksikan dalam budaya Jawa. Tentu saja yang demikian itu sah-sah saja, selagi tidak diliputi oleh adanya mitos atau asumsi, anggapan sebagai praktik kultus atau penyembahan kepada orang tersebut.

    Sungkem dimaksukan sebagai perwujudan meminta maaf kepada orangtua yang diliputi tingginya rasa hormat. Ini dianjurkan Islam karena yang demikian sejalan dengan ajaran islam yang mewajibkan orang beriman menghormati ibu bapaknya sebagaimana dikatakan dalam Al-Quran, Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaknyalah kamu berbuat kepada ibu bapaknya sebaik-baiknya…..(QS Al-Isra’ [17]: 23).

    Dalam suasana yang lebih formal, saling bermaafan juga dilaksanakan dengan mengadakan halal bihalal (halal bi al-halal). Bahkan budaya halalbihalal sudah menjadi budaya khas bangsa Indonesia. Halal bihalal yang dimaksudkan sebagai pelaksanaan saling bermaafan dan silahturahmi tersebut tentunya tidak menjalani perintah ajaran Islam, bahkan sebaliknya menjadi acara yang memiliki nilai positif.

    Ada baiknya sedikit disinggung bahwa berkaitan dengan dosa dalam Islam, setiap orang tentulah selama hidupnya pernah berbuat dosa, seperti yang disabdakan dalam hadist Nabi Saw. Yang berbunyi, “Setiap keturunan Bani Adam (manusia) pernah berbuat kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang membuat kesalahan adalah yang bertobat.”

    Dosa atau perbuatan salah bisa tertuju kepada Allah Swt. Karena melanggar syariat-Nya atau kepada manusia. Berkaitan dengan dosa kepada Allah Swt, setiap orang beriman dianjurkan untuk melakukan tobat, apalagi dalam suasana bulan puasa yang identik dengan bulan tobat atau bulan penuh ampunan. Permohonan ampunan atau tobat dalam Islam dilakukan secara pribadi dan tidak memerlukan perantara, sebagaimana ajaran Islam tidak mengenal kultus atau mitos terhadap seseorang.

    Dosa perlu diketahui bahwa Allah Swt. Maha Pengampun terhadap hamba-hambanya yang mau bertobat, sebagaimana dikatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa menyekutukan Allah, sesungguhnya ia telah berbuat dosa besar (QS An-Nisa [4]: 48).

    Dosa atau kesalahan kepada manusia dalam Islam akan diampuni apabila meminta maaf kepada orang yang bersangkutan. Dan yang demikian dalam Islam diistilahkan sebagai haqq-u ‘l-adami atau hak manusia, sedangkan yang pertama haqq-u ‘l-ilahi atau hak Allah Swt.

    Dengan selesainya ibadah puasa dan datangnya hari raya Idul Fitri dengan berbagai aktivitasnya, khususnya saling bermaafan, dengan sendirinya menjadikan hari raya Idul Fitri benar-benar mengandung makna fitri yang berarti kesucian. Orang beriman selama bulan puasa telah menjalani tobat, meminta ampunan Allah Swt. Sebagai simbolisasi dimensi vertikal. Kemudian disusul dengan permintaan maaf kepada sesamanya sebagai simbolisasi dimensi horizontal.

    Selain itu, akhir-akhir ini dikalangan umat Islam juga berkembang budaya baru seperti yang terjadi di negara-negara maju. Yakni budaya mengirimkan kartu ucapan selamat kepada teman atau kerabat yang disebut greeting (tahiyyah). Budaya semacam itu tentunya baik-baik saja karena esensinya adalah meminta maaf kepada teman atau kerabat yang memang jauh. Dengan sendirinya silahturahmi tetap dapat dilakukan tanpa ada alasan jarak.

    Adapun ungkapan selamat yang sering digunakan adalah ‘Id-u ‘l-mubarak, Ja’alana ‘l-Lah-u wa iyyakum min-a ‘l-aidin wa ‘l-faizin, dan Taqabbala ‘l-Lah-u minna wa minkum.

    Namun yang paling popular di kalangan masyarakat kita, dalam menulis atau mengucapkan selamat biasanya hanya mengatakan, min-a ‘l-aidin wa ‘l-faizin.


31 thoughts on “Tentang Idul Fitri, oleh Nurcholish Madjid

  1. Banyak menambah pengetahuan nih Mas… negara Amerika juga ternyata mudik saat thanks giving…

    Minal Aidzin Wal Faidzin… mohon maaf atas segala kesalahan ya,,,

    • Saur again….hehhehe…

      Ortu memang selalu menghadirkan rasa ketidak-mampuan kita untuk membalas kebaikan mereka,
      mudah2an kita tidak berhenti di rasa itu saja……

      MInal Aidin Wal Faidzin, Taqaballahu minna waminkum

      salam silaturahim
      dari blognoerhikmat

      😀 😀 😀

  2. Selamaz menyongsong datangnya Idul Fitri ya 🙂

    terima kasih sharingnya 🙂 ….. tulisan alm. Nurcholis Madjid sungguh mencerahkan , saya suka dua alinea yang ini :

    Kiblat sebagai poros atau pusat hanyalah sebagai simbolisasi dalam menunjukkan kebaktian dan yang terpenting adalah kemampuan menangkap makna pesan-pesan yang sesungguhnya. Sikap merasa dirinya paling baik dan benar, dan sebaliknya menuduh yang lain salah, adalah salah satu indikasi ketidakmampuan memahami pesan-pesan ajaran agama secara benar. Sikap yang menonjolkan kelompok dirinya paling benar itulah yang kemudian memunculkan sikap sektarianisme dalam beragama.

    Sikap sektarianisme lahir karena ketidakmampuan menangkap makna dan pesan secara benar sehingga pada akhirnya justru akan memecah–belah kesatuan umat. Di sisi lain, tanpa disadari, sikap tersebut juga akan dengan mudah dipergunakan atau diperalat kelompok lain untuk mencapai kepentingannya sendiri dengan mengorbankan kepentingan umat.

    • thanks Mba Ely….semoga dunia Ely disana selalu dalam keadaan fitri …amien..

      setuju banget….inilah knapa dari dulu saya suka sama beliau….dalam berucap dan membuat tulisan sangat berwawasan, informatif serta memberi pencerahan…. 🙂

  3. Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
    Kami sekeluarga mengucapkan Minal aidin walfaizin, mohon maaf lahir dan bathin.
    O iya, untuk mempererat persahabatan, saya sudah menempatkan blognoerhikmat di sahabat irfan handi section B.

    • Wa’alaikumsalam wr.wb
      Mas Irfan handi dan keluarga…kami terima salam silaturahimnya
      kami sekeluarga Budi Nurhikmat juga mengucapkan Minal Aidin wal faidzin…..
      mohon maaf lahir dan bathin…
      semoga limpahan berkah Ramadhan kali ini juga dapat menerus sampai bertemu Ramadhan tahun depan… 🙂

  4. minal aidin wal faidzin ya mas.. saya juga bagian dari pemudik, dan yaa mudik memang hanya sebuah tradisi, tapi dengan mudik saya bisa berbagi kasih dan sayang dengan orang-orang yang saya sayangi.. saling memaafkan, mempererat silaturrahmi, dll.. semoga kita masih dipertemukan dengan Ramadhan selanjutnya.. 🙂

    • sama-sama dhe…
      saya beserta keluarga Budi Nurhikmat mengucapkan Minal aidin wal faidzin….mohon maaf lahir bathin….walau mata tidak saling dipertemukan…tapi silaturahim boleh bertalian dan berjalan dengan semangat yang fitri….amien 🙂

Tinggalkan Balasan ke Budi Nurhikmat Batalkan balasan